Pulau Rubiah, Saksi Bisu Karantina Jamaah Haji

- 31 Maret 2024, 23:00 WIB
/

PIKIRANACEH.COM | WISATA -  Pulau Rubiah, Sabang, Aceh merupakan salah satu tempat bersejarah bagi umat muslim dalam melaksanakan ibadah haji, karena pulau Rubiah dulunya pernah menjadi pusat karantina jamaah haji.

Setiap jamaah yang akan berangkat melaksanakan ibadah haji, terlebih dahulu dilakukan karantina selama 1 bulan di pulau Rubiah tersebut.

Pulau Rubiah adalah salah satu tempat karantina haji pertama di Indonesia. Sebelum adanya vaksin seperti saat ini, orang yang akan berangkat dan pulang dari luar negeri dianggap membawa penyakit. Oleh karena itu setiap jamaah wajib dikarantina dengan tujuan terbebas dari wabah penyakit.

Kini tempat karantina tersebut hanya menjadi saksi sejarah. Bangunan tua yang begitu mewah pada masanya tersebut menjadi terbengkalai tanpa ada perhatian.

Bagi anda yang berkunjung ke Kota Sabang yang merupakan kota sejuta keindahan bahari dan juga kaya akan sejerah, pusat karantina haji ini menjadi salah satu destinasi wisata yang patut dikunjungi.

Gedung ini terletak di tengah pulau Rubiah, Sabang. Lokasinya tidak jauh dari dermaga pulau Rubiah yang merupakan surga snorkling bagi wisatawan.

Untuk berkunjung ke lokasi pusat karantina tersebut, dari dermaga anda akan melewati akses menuju ke lokasi bangunan bersejerah tersebut menggunakan jalan setapak yang letak bangunan tidak jauh dari dermaga kurang lebih 100 meter.

Sebelum sampai ke bangunan tua bersejarah tersebut, kita akan menemukan prasasti yang menjelaskan, "Karantina haji merupakan bangunan asrama haji di zaman kolonial yang terletak dipulau Rubiah, Sabang, Aceh. Pada tahun 1920 pulau Rubiah ini dijadikan sebagai tempat karantina bagi jamaah haji yang baru pulang dari Mekkah. Karantina haji pulau Rubiah adalah objek bersejarah dalam riwayat perjalanan Haji Indonesia dan tempat ini merupakan pusat Karantina Haji pertama di Indonesia", dikutip dari prasasti.

Prasasti tersebut terletak dekat dengan gedung karantina jamaah haji, saat kita lihat langsung bangunannya masih terlihat bagus dan kokoh. Namun sangat disayangkan atap yang sudah mulai bocor dan sudah tumbuh ilalang, apalagi sekitar bangunan yang begitu sangat memprihatinkan.

Harusnya gedung tersebut ada pemeliharaan dan tidak dibiarkan terbengkalai bagitu saja, karena menjadi saksi sejarah bagi umat muslim. Kemudian juga menjadi salah satu destinasi wisata bersejarah.

Selain destinasi wisata juga akan menghilangkan sejarah, di mana nantinya generasi alpha khususnya masyarakat Aceh tidak akan mengetahui bahwa di daerahnya ada pusat karantina jamaah haji pertama di Indonesia.

Dirangkum dari laman Kemenag Aceh, Teuku Yahya yang merupakan salah satu keturunan pemilik sebagian tanah di pulau Rubiah menceritakan, awalnya bangunan karantina haji yang dibangun pada zaman kolonial itu menyediakan berbagai fasilitas lengkap seperti penginapan, rumah sakit, laundri, kamar mandi dan listrik.

Saat itu, kata Yahya, gedung karantina haji juga merupakan tempat transit bagi jamaah haji yang akan berangkat ke tanah suci melalui jalur laut. Para jamaah terlebih dulu menginap di pulau Rubiah, baru nantinya akan diantar dengan kapal menuju kapal yang besar.

 

"Gedung karantina haji ini dibangun memadati lebih dari setengah Pulau Rubiah, tersedia rumah sakit dan fasilitas laundry juga tersedia dalam gedung tersebut," katanya.

"Proses pemberangkatan jemaah haji, setelah masuk karantina lebih kurang 1- 2 bulan sebelum keberangkatan dan kegiatan yang dilakukan dalam masa-masa karantina antara lain, manasik haji dan pemeriksaan kesehatan,” ujarnya lagi.

Pendiri Sabang Heritage Society (SHS), Albina Ar Rahman mengatakan, pemerintah kolonial Belanda mendirikan pusat karantina haji untuk kepentingan ekonomi dan politik. Gedung karantina haji dibangun untuk menarik simpati masyarakat Aceh.

Ia menuturkan, Belanda tidak mau ambil pusing, seluruh jamaah haji yang baru pulang diwajibkan karantina hingga ditetapkan statusnya terbebas dari wabah penyakit.

"Dulu belum ada vaksin seperti sekarang. Jadi orang yang pulang antar negara itu (dianggap) bawa pulang penyakit. Jadi harus dikarantina dan itu wajib," kata Albina saat ditemui tim Kemenag Aceh pada 2019 silam.

Karantina yang diterapkan selama 40 hari, jauh lebih lama dari proses karantina yang diterapkan selama wabah Corona yang telah menyerang hampir seluruh negara di dunia saat ini.

"Waktu pulang harus mampir di sini, jamaah perlu dikarantina selama 40 hari. Jadi siapa yang lolos, mereka tidak sakit, berarti sudah selesai. Maka dibolehkan pulang,” kata Albina.

Seiring berjalannya waktu, saat Jepang datang, Belanda terpaksa angkat kaki dari Sabang. Gedung karantina haji berubah menjadi barak tentara dan karantina haji di Aceh akhirnya terhenti.

Baru pada tahun 1944, Belanda kembali dan terjadi pertempuran dengan tentara Jepang sehingga beberapa bangunan pusat karantina haji hancur dihantam peluru Belanda.

"Jadi tidak semua bangunan itu hancur karena usia. Tapi dibom karena Belanda tahu Jepang bersembunyi dalam bangunan yang mereka dirikan," ujarnya.

Sejak saat itu, pulau Rubiah tidak lagi menjadi pusat karantina haji. Namun kota Sabang masih menjadi jalur pemberangkatan jamaah haji ke tanah suci hingga tahun 70-an melalui kampung haji.

Editor: Mustakim


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah