10 Lembaga Deklarasikan Koalisi di Situs Paya Nie, Habitat Lahan Basah Menghilang Tiga Kali Lebih Cepat

3 Februari 2024, 16:07 WIB
Foto. Dok. AWF /

PIKIRANACEH.COM – Sebanyak 10  lembaga lingkungan bergabung dalam koalisi aksi yang mendorong penyelamatan Lahan Basah seperti rawa, gambut, mangrove dan danau, yang merupakan bagian dari Hutan Aceh. Koalisi ini pun dideklarasikan tepat di momen peringatan Hari Wetland Sedunia pada Jumat 2 Februari 2024.

Koalisi tersebut terdiri dari Aceh Wetland Foundation, Yayasan APEL GREEN Aceh, Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembahTari), Pemuda Pembela Tanah Rakyat (PAPETRA), Generasi Beutong Ateuh Banggalang, Gayo Rimba Bersatu, LSM Harimau Pining, Komunitas Aneuk Nanggroe, Yayasan Hutan Hujan Aceh, dan Aceh Mangrove Youth.

“Kami mendeklarasikan sikap bersama untuk mendorong upaya penyelamatan kawasan lahan basah dan hutan hujan Aceh dari kerusakan parah akibat eksploitasi berlebihan atas sumberdaya alam Aceh oleh oligarki yang berkuasa hari ini,” demikian bunyi pernyataan sikap seperti yang dirilis ke Serambinews.com.

Pernyataan sikap ini juga dideklarasikan sehubungan dengan pesatnya pertumbuhan perkotaan dan peningkatan permintaan lahan, cenderung merambah ke kawasan hutan, sempadan sungai/danau, pantai, bahkan area persawahan. Sehingga area hutan lahan basah (genangan pasang-surut) menghilang tiga kali lebih cepat dibandingkan hutan pegunungan. Akhirnya berujung pada bencana banjir sepanjang tahun sehingga memperparah indeks kemiskinan di Aceh.

Padahal, lahan basah dan manusia merupakan kehidupan yang saling berkaitan. Lahan basah sangat penting bagi kesejahteraan makhluk hidup. Baik melalui penyediaan air bersih, sebagai sumber makanan bagi manusia dan satwa liar, serta melindungi bumi dari cuaca ekstrem.

Hari Lahan Basah Sedunia pun diperingati setiap tahun di tanggal 2 Februari untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat akan pentingnya lahan basah.

Di seluruh penjuru dunia, umat manusia telah bergantung pada lahan basah selama berabad-abad, dan mendapatkan makanan, inspirasi, dan ketahanan dari lingkungan penting ini.

Meskipun banyak manfaat yang diperoleh manusia dari lahan basah, setiap hari lahan basah dirusak oleh manusia. Lahan basah dihancurkan oleh praktik pertanian tidak berkelanjutan yang merupakan penyebab utama hilangnya lahan basah melalui drainase dan penimbunan.

Banyak lahan basah, khususnya di dekat perkotaan, juga telah tercemar oleh aktivitas manusia dan baru-baru ini semakin terdegradasi oleh polusi plastik, yang memperburuk status 3 krisis planet; yaitu perubahan iklim, hilangnya hutan alam, dan polusi yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan manusia.

Dr Musonda Mumba, Sekretaris Jenderal Konvensi Lahan Basah dalam laporannya menyebutkan, tren pemukiman manusia saat ini juga menimbulkan ancaman besar terhadap konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana di dan sekitar kota-kota berkembang.

Seiring dengan pertumbuhan perkotaan dan peningkatan permintaan lahan, kecenderungannya adalah merambah lahan basah dan lahan basah tersebut menghilang tiga kali lebih cepat dibandingkan hutan. Oleh karena itu, perusakan yang sedang berlangsung harus dihentikan dan mendorong tindakan nyata untuk melestarikan dan memulihkan ekosistem penting ini.

Lahan basah terdiri dari hutan mangrove, hutan gambut, sungai, rawa, danau, pantai, delta dan laut. Habitat ini menjadi satu kesatuan dari ekosistem lahan basah yang menjadi tumpuan penting segenap makhluk hidup.

Laju degradasi lahan basah di Aceh terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan. Di habitat mangrove dalam kawasan hutan di Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang, luas kawasan hutan terus menyusut akibat pengalihan fungsi dan perambahan.

Hutan gambut di Nagan Raya dan Abdya terus dikeringkan untuk pengembangan HGU kelapa sawit. Kanal-kanal dibuka dalam kawasan hutan yang kaya karbon ini. Rumah Orangutan Sumatera di habitat ini terancam.

Kelestarian Danau Lut Tawar Terancam

Sejumlah masalah juga menghantui kelestarian Danau Lut Tawar di Kabupaten Aceh Tengah. Menyusutnya debit air, menurunnya kualitas air, menghilangnya beberapa spesies ikan endemik, hingga mendangkalnya cekungan danau adalah persoalan utama yang terjadi dan harus diselesaikan.

Satu spesies endemik Danau Lut Tawar yang kondisinya terancam punah adalah ikan depik [Rasbora tawarensis] yang populasinya menurun dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini diduga, terjadinya perubahan signifikan pada ekosistem danau membuat ikan depik tidak mampu lagi beradaptasi.

Sungai-sungai Digali dan Dicemari

Aktivitas galian dan tambang membentang di sepanjang alur sungai di Pidie, Aceh Barat, dan Nagan Raya. Dampak negatif yang dirasakan masyarakat adalah kerusakan lahan, pencemaran merkuri, meningkatnya penyakit infeksi dan keracunan merkuri dan timbulnya konflik lingkungan hidup akibat ketidakadilan dalam pengelolaan pertambangan.

Di Beutong Ateuh Banggalang, meski sudah ada putusan Mahkamah Agung yang tidak mengizinkan investasi tambang emas, namun perjuangan warga menolak tambang masih berlanjut.

PT EMM dan PT BME masih berusaha mengeksploitasi hutan Beutong  dengan membinasakan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Dari hulu sungai Tamiang, warga Pining, Gayo Lues masih berjuang mendapatkan pengakuan hutan adat dari pemerintah. Usaha ini sudah dilakukan bertahun-tahun. Penebangan pohon di bantaran Sungai Pining semakin mengancam sumber kehidupan masyarakat Gayo dan Tamiang.

“Berdasarkan fakta dan persoalan di atas, maka kami mendeklarasikan Koalisi Selamatkan Lahan Basah dan Hutan Aceh,” kata Yusmadi Yusuf, Direktur Eksekutif Aceh Wetland Fondation (AWF), Jumat (2/2/2024).

Koalisi akan bekerja sesuai rencana aksi penyelamatan dan perlindungan habitat dan spesies dengan cara;

1. Menguatkan peran aparatur penegak hukum terhadap kasus kejahatan lingkungan dan kehutanan.

2. Menguatkan peran masyarakat adat sebagai pemilik dan pengelola hutan yang sah di wilayah masing-masing.

3. Meningkatkan status konservasi pada habitat lahan basah di seluruh Aceh.

“Lahan dan Hutan untuk Kesejahteraan Manusia, bukan Pemilik Modal, adalah bentuk sikap dan perjuangan kami mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan di tahun 2030. Karena itu, terdapat kebutuhan mendesak untuk kita bertindak sekarang. Pemangku kebijakan perlu diingatkan dalam bentuk gugatan perwakilan (class action) atas sikap dan proses pembiaran terhadap penghilangan hutan dan peningkatan laju deforestasi di dalam kawasan hutan.” 

Demikian bunyi pernyataan bersama yang ditandatangani 10 lembaga lingkungan yang bekerja di site Paya Nie (Bireuen), Pulau dan Hutan Mangrove (Langsa -Aceh Tamiang), Rawa Tripa (Nagan Raya-Abdya), Danau Lut Tawar (Aceh Tengah), Pining (Gayo Lues), dan Hutan Hujan Beutong Ateuh (Nagan Raya). ***

Editor: Zainal Abidin

Tags

Terkini

Terpopuler