Muhammad Nazar SIRA: Menghidupkan Kemanusiaan yang Tak Boleh Mati, karena Ia Harus Selalu Hidup dan Mulia

18 Juli 2023, 09:21 WIB
H. Muhammad Nazar /Hamdani/

PIKIRANACEH.COM - Tokoh Aceh H. Muhammad Nazar, Wakil Gubernur Aceh Periode 2007-2012 mengkritisi kebijakan negara terkait penyelesaian Kasus HAM Berat Aceh yang sedang dilakukan oleh pemerintah Joko Widodo.

Ketua Dewan Presidium Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) sejak tahun 1999 yang saat ini menjabat Ketua Majelis Tinggi Partai SIRA menilai, meskipun patut diapresiasi namun langkah pemerintah dalam menyelesaikan kasus tersebut belum tepat sasaran dan tidak transparan.

Hal itu dikatakannya dalam acara diskusi 'Jejak Luka di Rumoh Geudong, Sidang Buku Kompolotan Bandit di Warung Kopi' secara virtual melalui media zoom pada Minggu malam tadi, 16 Juli 2023.

Menurut Muhammad Nazar, manusia itu ditetapkan batas hidup fisik mereka oleh Allah Sang Maha Pencipta, Maha Pemberi Kehidupan dan Maha Pencabut nyawa. Batas itulah yang disebut ajal yang harus tiba, yang tidak dapat dipercepat dan ditunda, apapun penyebabnya.

RumBaca Juga: Jokowi ke rumoh Geudong : mewarisi luka lama, menambah luka baru

Karena manusia itu berasal dari tanah maka kembali pula menjadi tanah, dimanapun jasad itu harus berhenti dan terkubur, di bumi di dalam air di udara di gunung di dalam gedung dan dimana-mana.

Tetapi seyogyanya, seperti ruh yang tidak pernah mati dan hanya kembali lagi kepada Tuhan-Nya maka kemanusiaan pun tak boleh mati. Ia harus berjalan tanpa henti , ia mulia dan ia harus dihargai sesuai derajatnya. Karena itulah Tuhan menentukan hukuman yang pasti, tak boleh ada abu-abu di dalamnya. Tuhan sendiri telah memuliakan manusia, mengapa manusia dan negara harus menghina.

Lebih jauh ia mengatakan, nyawa manusia tidak dapat dinilai dengan harga murah dan rendah, tidak dapat diganti rugi dan direparasi sesuka aturan manusia oleh manusia yang menjadi pembunuh manusia, meskipun para pelakunya adalah manusia pembentuk kekuatan raksasa yang bernama negara. 

Bagaimana bisa setelah membunuh secara misterius maupun terbuka dengan sangat sengaja kemudian mereka datang seenaknya meminta maaf datar-datar saja. 

Hanya mengakui sebahagian kecil secara tidak ikhlas bahkan masih berupaya merobohkan serta menghilangkan ingatan zaman yang mengalaminya serta manusia semesta.

Untuk apa kesepakatan politik damai yang berhalaman-halaman dengan berpura-pura berjabat tangan, untuk apa produk hukum berjilid-jilid dengan sampul indah yang memenuhi berbagai kantor dan pustaka, jika menegakkannya ternyata tetap saja masih pura-pura. 

Terlalu banyak kejahatan dan penindasan mereka saat telah menjadi bangsa bersama, yang dulu dimulai dan dilobi dengan jargon serta alasan kepentingan sesama agama mengusir kaum penjajah kafir Belanda beserta partnernya.

Pengorbanan ternyata sering tak berharga, itu nyata. Menerima bantuan dengan senang dan penuh puji-pujian ketika hendak mengusir kaum penjajah dari Eropa dan luar sana. Lalu jahatnya, mereka yang telah merdeka menjadi para pengelola negara mencoba menghabisi kaum dan menjadi menjelma menjadi kaum penjajah baru terhadap kaum yang telah berderma dengan lugu dari ujung Sumatra yang jauhnya ribuan kilometer dari ibukota Jakarta. 

Baca Juga: Rumoh Geudong Dilenyapkan, Ada Bukti Sejarah yang Hilang

Menindas dan menghabisi dengan sengaja, mengerahkan banyak mesin pembunuh kejam tak berhati manusia, mencurahkan begitu besar dana, menumpahkan darah manusia lain dengan menindas dan menyiksa karena alasan bahagian bangsa mereka yang harus dipertahankannya.

Logika apa yang diterapkan, jika saat itu mereka menyatakan dan sumpah serapah bahwa Aceh itu adalah bahagian bangsa dan negara yang harus dipertahankan oleh mereka, sementara saat yang sama mereka pun menghabisi rakyatnya dan menguras harta dari wilayahnya untuk dibawa dengan paksa.

Saat kejahatan itu mulai diketahui umum dan dunia, pengakuan-pengakuan pun datang dari negara tetapi tetap saja kurang ikhlas dan sudah hampir pasti seperti pura-pura. 

RumBaca Juga: Darah dan Sejarah Rumoh Geudong, Camp Penyiksaan Sipil di Aceh yang Kini Dilenyapkan

Sebenarnya tak cukup sekedar meminta maaf biasa, tak boleh sekadar kompensasi dan reparasi pura tanpa penyelesaian secara hukum dan pelurusan sejarah yang telah nyata, yang harus melahirkan pengakuan ikhlas, keadilan yang didamba dan nilai kemanusiaan yang mulia.

Pada akhir diskusi ia berharap semoga manusia yang memiliki kemanusian dan telah menjadi manusia tidak bosan-bosannya berjuang, menjadi bahagian pendorong utama terwujudnya keadilan negara kepada setiap warga.***

Editor: Hamdani

Tags

Terkini

Terpopuler