Menyoal Calon Eks Napi Koruptor di Pemilu 2024

- 19 Januari 2024, 23:35 WIB
Ega Palentino, Mahasiswa Universitas Muhamadiyah Malang
Ega Palentino, Mahasiswa Universitas Muhamadiyah Malang /

PIKIRANACEH.COM - Masih banyaknya caleg eks napi koruptor di Pemilu 2024 disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: Larangan pencalonan eks napi koruptor yang tidak tegas. Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30P/HUM/2018 yang membatalkan Pasal 281 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) telah membuka peluang bagi eks napi koruptor untuk mencalonkan diri sebagai caleg.

Pasal tersebut sebelumnya melarang mantan narapidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat 52 mantan napi koruptor yang terdaftar sebagai bakal calon legislatif (Bacaleg) DPR RI pada Pemilu 2024.

Jumlah ini meningkat dari Pemilu 2019 yang hanya terdapat 37 mantan napi koruptor ,Partai politik yang pragmatis.

Partai politik cenderung mengutamakan kepentingan politik jangka pendek daripada kepentingan jangka panjang.

Oleh karena itu, partai politik tidak ragu untuk mengusung caleg eks napi koruptor jika dinilai memiliki potensi untuk memenangkan pemilu.

Pencalonan mantan narapidana korupsi pada pemilu dapat dianggap kontroversial karena dapat mencoreng integritas dan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Masyarakat cenderung mempertanyakan kepatutan moral dan integritas seseorang yang pernah terlibat dalam tindak pidana korupsi untuk menduduki jabatan publik. Tolaknya pencalonan ini bertujuan untuk menjaga kepercayaan publik dan integritas penyelenggaraan pemerintahan.

Tidak mengherankan juga jika korupsi seolah-olah menyandera pemerintah sekaligus menciptakan plutokrasi, yaitu sistem politik yang dikendalikan oleh pemilik modal. Akibatnya, kedaulatan rakyat menjadi slogan yang tidak ada artinya. Selain itu, kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi pun akan hancur.

Terlepas dari permasalahan diatas, korupsi termasuk extraordinary crime, dimana para pelakunya menyalahgunakan kekuasaan, hal ini lah yang juga menjadi alasan sulit untuk mengembalikan kepercayaan terhadap mantan narapidana dalam pemuli 2024.

Di tengah situasi seperti ini, para koruptor menjadi aktor utama dalam proses rusaknya demokrasi akibat korupsi. Dengan kata lain, mempercayai mantan narapidana koruptor untuk tetap berada dalam politik Indonesia patut dipertanyakan. Masyarakat akan mengganggap bahwa pemerintah lah yang salah, padahal dalam faktanya tidak semua ikut berkecimpung di dunia korupsi. Hal ini lah yang patut menjadi garis besar para penegak hukum. Terutama pada situasi pemelihan umum mantan korupsi bisa saja terjun didalamnya, hal ini mungkin karena faktor uang yang masuk sebagai bahan untuk tutup mulut. Alhasil para mantan narapidana tersebut dapat lolos.

Menyoal larangan eks napi koruptor nyaleg bersinggungan dengan pembatasan HAM, terutama hak politik warga negara untuk dipilih dan memilih. MA menyebut hak politik telah tercantum dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Mahkamah pun mengutip Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal itu menjelaskan setiap warga negara berhak memilih dan pemilih dalam pemilu. "Bahwa dalam UU HAM di atas sangat jelas diatur bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum," dikutip dari salinan putusan MA Nomor 30 P/HUM/2018

Walaupun hak dipilih merupakan hak dasar warga negara, namun hak tersebut adalah hak yang dapat dibatasi, seharusnya MK dan MA mampu menggali rasa keadilan di tengah masyarakat, dimana hal tersebut tertuang dalam Pasal 5 UU No.24 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, sehingga putusan tersebut tak menjadi yurisprudensi yang menguntungkan bagi mereka yang pernah terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi Harusnya setiap partai politik dapat memilah dan memilih calon yang berkualitas untuk menjadi bagian pemerintah, perlu juga adanya jeda waktu agar mantan narapidana tidak langsung mengikuti pemilu dan Mengharap peran serta masyarakat untuk lebih selektif atau tidak memilih mantan narapidana yang mencalonkan diri sebagai komitmen dan perwujutan pemberantasan korupsi.

Meskipun seseorang bisa berubah, namun perilaku koruptif bukanlah kejahatan sepele. Dilihat lagi pada tahun-tahun lalu banyaknya penegak hukum yang akhirnya ketahuan menggelapkan dana atau bahkan melakukan pencucian uang dengan nominal yang tidak sedikit. Hal ini sangat membuat resah masyarakat, mereka menjalankan tugas tidak sebagimana mestinya, memikirkan kesejahteraan kehidupannya sendiri tanpa melihat rakyat yang berada dibawah. Selain itu keharusan untuk menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya dan tidak menutupi latar belakang kehidupannya tersebut, Mahkamah menyatakan hal demikian perlu dalam rangka memberikan bahan pertimbangan bagi calon pemilih dalam menilai atau menentukan pilihannya. Sebab, pemilih dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya sebagai pilihan baik yang memiliki kekurangan maupun kelebihan untuk diketahui oleh masyarakat umum.

Melalui Pemilu, kita dapat memilih pemimpin yang sesuai dengan harapan kita. Dalam Pemilu kali ini, kita akan memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota.

Dalam memilih pemimpin, kita harus selektif dan cerdas, Kita harus memilih pemimpin yang memiliki integritas dan komitmen untuk memajukan bangsa. Oleh karena itu, kita harus menghindari memilih caleg yang pernah menjadi narapidana koruptor.

Eks Koruptor adalah orang yang tidak berintegritas dan tidak memiliki komitmen untuk memajukan bangsa, dan lagi eks koruptor ini adalah orang yang menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Koruptor telah merugikan negara dan rakyat.

Jika kita memilih caleg eks napi koruptor, maka kita telah mendukung praktik korupsi. Kita telah memberikan kesempatan kepada koruptor untuk kembali merugikan negara dan rakyat.

Marilah kita pilih pemimpin yang memiliki integritas dan komitmen untuk memajukan bangsa, bersama-sama membangun bangsa yang bersih dari korupsi, dan memilih pemimpin yang memiliki integritas dan komitmen untuk memajukan bangsa.

Editor: Mustakim


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah