Kilas Balik DOM Aceh dan Pelanggaran HAM Berat

- 4 Juni 2023, 11:55 WIB
Operasi Militer di Aceh
Operasi Militer di Aceh /Hamdani/

PIKIRANACEH.COM - Hingga saat ini Aceh masih tercatat sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Aceh bergabung sejak Presiden Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

 

 

 

NKRI merupakan sebuah negara besar. Luas wilayahnya sepuluh kali lipat negara besar di Eropa dengan jumlah penduduknya posisi 4 terbesar dunia, memiliki ribuan suku, bahasa, budaya serta memiliki kekayaan alam yang melimpah.

Sebutan negara besar memberikan kebanggaan tersendiri bagi penduduknya apalagi Indonesia selalu berperan di pentas dunia. Seperti menjadi mediator bagi negara-negara berkonflik.

Posisi Indonesia dalam percaturan Internasional sangat strategis. Indonesia benar-benar disegani oleh negara-negara lain karena negara kita kuat, makmur dan sejahtera.

Namun paska jatuhnya orde baru, tumbangnya kekuasaan rezim Soeharto, bersama itu pula berbagai dinamika baru mulai bermunculan. Ditandai dengan orde reformasi, euforia politik dan kebebasan pun mulai tampak kentara. Situasi ini sangat berbeda ketika Soeharto masih berkuasa. 

Sebagai rakyat awam dan saya sebagai bagian dari masyarakat Aceh. Kejatuhan orde baru bersamaan dengan mundurnya Presiden Soeharto merupakan sebuah nikmat yang besar. Kenapa demikian? Karena pada masa Soeharto berkuasa, Operasi Jaring Merah (OPM) sedang berlangsung di Aceh. Operasi militer paling besar yang dilancarkan Indonesia terhadap Aceh. 

Operasi Jaring Merah adalah operasi kontra-pemberontakan yang diluncurkan pada awal 1990-an sampai 22 Agustus 1998 melawan gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. 

Selama periode tersebut, Aceh dinyatakan sebagai "Daerah Operasi Militer" (DOM), di mana Pemerintah Indonesia mengirimkan ribuan tentara dan artilerinya ke seluruh pelosok Nanggroe Aceh. 

Pengamat militer menyebut operasi ini ditandai sebagai perang paling kotor di Indonesia yang melibatkan eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan penghilangan, dan pembakaran desa oleh aparat keamanan Indonesia. 

Akibatnya terjadi berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat terhadap warga sipil Aceh yang dilakukan oleh para serdadu. 

Baca Juga: Mulai Hari Ini Presiden Jokowi Memulai Misi Penyelesaian 12 Kasus Pelanggaran HAM di Aceh

Operasi ini baru berakhir dengan penarikan hampir seluruh personel TNI yang terlibat atas perintah Presiden BJ Habibie pada tanggal 22Agustus 1998 ketika ia naik menjadi presiden menggantikan Soeharto yang sudah terguling.

Meskipun kemudian operasi militer dilanjutkan kembali oleh Presiden Megawati Soekarnoputri saat dia berkuasa.

Itulah mengapa kejatuhan orde baru bersama dengan tumbangnya rezim Soeharto sebagai berkah yang saya syukuri ketika itu. Artinya masa-masa sulit penuh penderitaan tergantikan dengan kebebasan dan kemerdekaan. Terutama Presiden BJ Habibie yang membuka kran demokrasi bagi sistim bernegara kita. 

Kini setelah 25 tahun berlalu, orde reformasi menggantikan orde baru. Orde ini dulunya digadang-gadang sebagai nafas baru kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia. 

Tokoh-tokoh reformasi menjanjikan sebuah harapan baru untuk Aceh yang lebih baik. Janji akan adanya pemerataan pembangunan, adil, makmur, dan menuju Indonesia yang terbebas dari otoritarianisme dan dapat menjalankan hak keistimewaan secara otonom. 

Namun puluhan tahun berjalan, reformasi hanya retorika, apa yang dijanjikan itu bisa dikatakan hanyalah harapan palsu. Rakyat Aceh tetap saja masih pada posisi termarginalkan. Meski sistem politik dan kebebasan berpendapat dalam alam demokrasi cenderung lebih baik. Tetapi dalam hal kesejahteraan ternyata rakyat Aceh tidak lebih baik dari masa Soeharto. 

Aceh yang sudah tertinggal jauh dari segi pembangunan akibat diperangi dan dikebiri oleh Pemerintah pusat yang berkuasa, terus dibiarkan begitu saja dalam keadaan ketidakpastian. 

Setelah perjanjian damai MoU Helsinki ditandatangani pun Aceh tetaplah sebagai daerah yang sulit menjalankan keistimewaan. Padahal pengorbanan Aceh bagi republik ini tidaklah sedikit. 

Bumi rencong yang menjadi sumber pendapatan negara, sebagai penyumbang APBN terbesar dari sektor pertambangan tapi Aceh sendiri diperlakukan secara tidak adil dalam ekonomi dan pembangunan. 

Bahkan pemerintah Indonesia cenderung memberikan stigma-stigma buruk bagi Aceh. "Aceh adalah pemberontak, keras kepala, tidak bisa diatur" begitu mereka menyebutnya. 

Baca Juga: 3 Tentara Israel Tewas dalam Insiden Baku Tembak

Pada fase lebih matang, perdamaian antara Aceh (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia kedudukannya sebagai wakil negara melakukan kelembagaan perdamaian itu dalam bentuk sebuah agreement dan tertuang dalam dokumen kesepahaman. Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Namun MOU itupun sulit dijalankan.

Dalam sebuah kesempatan ketika memperingati haul Tgk Muhammad Hasan Tiro beberapa waktu yang lalu. Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf pernah mnegeluarkan pernyataan. Manaf meminta Aceh menggelar referendum saja agar masa depan Aceh menjadi lebih jelas dan terang benderang mengikuti langkah Timor Timur (Timor Leste sekarang).

Dalam kesempatan lain Mualem juga mengatakan nota kesepahaman Helsinki diadopsi dalam ketentuan perundang-undangan pemerintahan Republik Indonesia dan disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam lembaran negara sebagai UU No.11 Tahun 2006, tentang penyelenggaraan Pemerintahan Aceh. Karena itu butuh kejujuran dan keikhlasan Pemerintah Pusat (Jakarta) mewujudkannya.

Baca Juga: Sejarah Aceh Hari Ini, 13 Tahun Pemimpin Gam Hasan Tiro Mangkat Diusia 84 Tahun

Dari dua narasi panjang yang dlontarkan oleh salah satu petinggi GAM bagaimana ia memandang efektifitas MoU Helsinki sebagai dasar pembangunan Aceh dalam bingkai GAM-RI baru terlihat ada nilai-nilai pesimisme dan keputusasaan mantan panglima itu. Mualem justru menyerukan referendum meskipun kemudian ia ralat. Tetapi saya percaya, mantan GAM dan masyarakat Aceh sama sekali tidak puas dengan kondisi saat ini. 

Memang bukan pihak GAM saja yang merasa bahwa butir-butir MoU Helsinki tidak dijalankan oleh Pemerintah Indonesia. 

Rakyat Aceh secara umum pun membicarakan hal ini di warung-warung kopi. Mereka mengkritisi sikap pemerintah Indonesia yang tidak konsisten dan melupakan perjanjian internasional tersebut. 

Bahkan beberapa kali pemerintah Jokowi terkesan ingin mengebiri hak-hak istimewa yang melekat pada daerah dan rakyat Aceh. Sebut saja misalnya Kemendagri pernah ingin membatalkan qanun (perda) yang berdasar pada syariat Islam. Dengan alasan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. 

Ataupun bagaimana partai-partai pendukung rezim Jokowi yang bersuara keras dan terbuka menentang keputusan politik negara yang memberikan hak otonomi khusus dalam pelaksanaan syariat Islam. Sikap ini jelas-jelas sebagai bentuk pembangkangan dan mengkhianati rakyat Aceh yang sejak dulu memperjuangkannya Islam tetap tegak di bumi serambi mekkah.

Baca Juga: Susi Pudjiastuti hingga Eks Stafsus SBY Tolak Jokowi Ekspor Pasir Laut

Apalagi dengan situasi dan kondisi politik Indonesia saat ini, serba tidak pasti dan cenderung melemahkan sistim ketatanegaraan NKRI. Setelah pilpres 2019 usai, situasi politik dalam negeri semakin ugal-ugalan dan mengacaukan harmonisasi kehidupan berbangsa. 

Tolak tarik kepentingan antar golongan tampak lebih dominan daripada mengedepankan kepentingan rakyat Aceh.

Akibatnya pemerintah menghabiskan energi lebih besar untuk urusan politik. Sementara kehidupan rakyat semakin terjepit kurang mendapatkan perhatian. 

Kita bisa saksikan dan rasakan sendiri bagaimana susahnya mendapatkan kerja, harga-harga pada mahal, energi langka, penegakan hukum timpang, biaya hidup kian melambung. Dan sekarang iuran BPJS pun akan naik dua kali lipat.

Hal-hal tersebut diatas memberikan dampak negatif bagi pembangunan Aceh. Momentum untuk bangkit dari keterpurukan justru dilemahkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak pro pada Aceh. 

Saya rasa Aceh harus berani memikirkan nasib bangsanya sendiri daripada berharap lebih banyak dari pemerintah Indonesia justru akan semakin "dikhianati".***

Editor: Hamdani


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x